Dalam dunia kemahasiswaan, kita mengenal adanya istilah “mahasiswa apatis”. Memang belum ada definisi yang jelas, ketat, dan menyeluruh tentang siapa yang pantas disebut “mahasiswa apatis” ini, tapi dari berbagai tulisan teman-teman mahasiswa, untuk sementara kita bisa menyebut bahwa “mahasiswa apatis” adalah orang yang tidak mengikuti organisasi -khusunya organisasi politik. Lebih luas lagi, “mahasiswa apatis” adalah orang yang tidak mau bersinggungan dengan politik kampus.
Benarkah mahasiswa apatis itu benar-benar “apatis”? Apakah mahasiswa apatis itu benar-benar sebegitu buruknya?
Itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang sedari dulu menggelayut di kepala saya. Saya belum mampu menemukan jawaban yang memuaskan dari pertanyaan itu. Pertama, karena definisi dari mahasiswa apatis itu sendiri belum jelas. Definisi di atas pun saya tentukan secara subjektif. Kedua, karena mahasiswa yang biasa kita sebut dengan istilah “apatis” itu pun belum banyak yang berbicara tentang alasan “keapatisan” mereka (ini jika kita memakai definisi “mahasiswa apatis” adalah mahasiswa yang tidak bersinggungan dengan organisasi kampus). Di artikel ini, saya akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.
Menurut saya, ada beberapa alasan mengapa seseorang menjadi apatis.
Pertama, ekonomi. Saya mempunyai seorang teman. Dia datang seorang diri dari rumahnya di Surabaya. Di UI ini, dia kuliah dengan biayanya sendiri, bekerja membanting tulang. “Rasanya gw pengen deh ikut organisasi, tapi gak punya waktu nih masalahnya,” ungkapnya beberapa kali padaku. Dia ingin, tetapi tidak bisa. Dan dia memutuskan untuk menjadi apatis karena keadaan ekonomi.
Kedua, cara berjuang yang berbeda. Para mahasiswa organisatoris selalu mengatakan bahwa mereka berjuang demi rakyat, atau setidaknya mencoba berkontribusi. Sejatinya, begitu pula lah niat beberapa mahasiswa apatis yang lain. Mereka mencoba berkontribusi, tetapi bukan dengan jalan masuk BEM atau organisasi lainnya. Mereka mempunyai pemikiran sendiri tentang kontribusi itu. Mereka meyakininya dan menjalaninya. Saya akan menyebutkan beberapa bidang:
a. Entrepreneurship. Ada seorang teman saya di salah satu fakultas di UI mengeluh. Katanya, dia disindir sebagai orang yang apatis. Padahal, teman saya ini selalu bilang kepada saya bahwa di jalan entrepreneurship lah dia mengabdi kepada bangsa ini. Dengan bangga dia mengatakan pada saya bahwa dia telah mempekerjakan beberapa orang. Lalu, dia bertanya, “apa yang gw lakukan ini konkret untuk mengatasi pengangguran. Lalu, hal konkret apa yang sudah dilakukan mereka yang mengaku tidak apatis?”.
b. Organisasi ekstra kampus. Seorang teman mengatakan bahwa salah satu alasannya apatis (di kampus) dan memilih organisasi ekstra kampus adalah karena dia memang tidak tertarik ke arah internal kampus. Eksternal kampus menjanjikan hal yang lebih banyak, katanya. Jaringan, pembelajaran yang lebih konkret, profesionalisme, kesimpelan, dan banyak hal lain.
c. Kepenulisan. Bisa jadi ada mahasiswa yang memilih jalur murni kepenulisan dan apatis terhadap hal lain. Dia memilih menginspirasi orang lewat tulisannya dan dengan sadar ia memilih apatis. “Gw cuma pengen fokus aja di bidang gw..”, katanya.
d. Entertainment. Teman saya ada yang meniti karirnya di dunia hiburan dari sekarang (saat kuliah) dan memilih apatis dari hal lainnya. Di lain sisi, dia sangat bersemangat mengejar mimpinya di dunia hiburan. Dia ikut les musik ini-itu, manggung di sana-sini, dan hal lain yang berhubungan dengan bidangnya.
Ketiga, karena tidak tahu. Seringkali kita tidak mau melakukan sesuatu karena tidak tahu manfaatnya. Kita apatis karena kita tidak tahu apa manfaatnya kalau kita menajdi aktivis. Kita menganggap itu perbuatan yang sia-sia, karena itulah kita memilih menjadi apatis. Untuk orang yang satu ini, kita hanya perlu mendidik mereka dan berdialog saja.
Keempat, malas. Ketiga poin alasan di atas saya masukkan kategori masih lumayan baik. Namun, untuk alasan yang keempat ini, saya berpendapat berbeda. Malas, egois, tidak peduli, semau gue, apa urusannya sama gue, yang penting gue seneng, dan sederet alasan lain itu adalah virus mematikan bagi kemanusiaan dan daya kritis mahasiswa.
Jadi, menurut saya, keapatisan dari seorang mahasiswa janganlah langsung dijudge buruk begitu saja. Saya yakin ada alasan-alasan yang melatarbelakanginya mengambil keputusan itu. Latar belakang itulah yang harus kita cari dan selesaikan.